NAMA : VITRIA HANDAYANI
KELAS : II A PAUD
NIM : 091610040
MATA KULIAH : BERMAIN DAN SENI TARI AUD
DOSEN
PENGAMPU : KUSMINDARI TRIWATI, S.Sn
Pada
hari jumat tanggal 21 mei 2010 dihalaman
depan Gedung kesenian Taman Budaya, saya menyaksikan sebuah pagelaran seni REVITALISASI KESENIAN HAMPIR PUNAH. Dengan
seringnya kita menyaksikan suatu kesenian maka kita akan tahu dari mana
kesenian tersebut berasal dan secara tidak langsung kita akan melestarikan
suatu kesenian tradisional yang sudah hampir punah tersebut. Saya sangat senang
di kota Pontianak masih sering mengadakan pagelaran kesenian kebudayaan yang
ada di daerah Kalimantan Barat, karena dengan begitu kebudayaan yang ada di
Kalimantan Barat tidak akan punah dan akan menambah devisit daerah. Pada hari
itu yang ditampilkan adalah TARI PEDANG- MUSIK SAPE’- TATTOO.
TARI
PEDANG DAYAK MUALANG
Yang menarikan Pedang Dayak Mualang adalah Tumenggung
Adat Dayak Mualang Dusun Merbang yang Bernama Edmundus Linggie yang berumur 68
tahun.
Tari Pedang pada masyarakat Dayak Mualang dahulu kala dikenal
sebagai ritual Pemujaan Pedang sebelum seseorang akan pergi mengayao. Disini
ceritanya Kayao atau memenggal kepala adalah suatu syarat bagi anak laki- laki
yang beranjak dewasa apabila dia akan berumah tangga. Pada ritual ini diawali
dengan suatu upacara adat yang dipimpin oleh ketua adat dengan memanggil roh-
roh leluhur untuk memohon petunjuk dan memberikan kemudahan bagi sianak laki-
laki yang akan pergi mengayao. Roh- roh
leluhur yang dipanggil tersebut adalah:
1.
Tuak
Minai
2.
Tuak
Klieng
3.
Tuak
Labong
4.
Tuak
Hijau
5.
Tuak
Pungak
6.
Tuak
Lajah
Di sini Tuak
dalam bahasa Dayak Mualang artinya Panglima. Dengan memanggil roh- roh leluhur
diharapkan dapat memberikan petunjuk yang baik yaitu melalui mimpi atau
pertanda- pertanda lain seprti suara- suara burung( sengalang ). Setelah
memanggil roh_ roh leluhur, kepala adat selanjutnya menaburkan beras kuning dan
mulailah si anak laki- laki yang akan pergi mengayao tersebut melakukan
pemujaan terhadap pedang.
Pertunjukan
tarian diawali dengan menyembah pedang dan sianak laki- laki tersebut seolah-
seolah dapat berkomunikasi dengan peangnya tersebut. Kemudian ia mengelilingi
pedang sebanyak tiga kali dan selanjutnya mengambil pedang kemudian diikatkan
dipinggang. Pada saat mengikat pedang ini sianak laki- laki melakukan gerakan
yang oleh masyarakat setempat disebut dengan langka pecah empat.
Setelah pedang terikat gerakan semakin cepat dan gerakan semacam ini disebut langka pecah dua belas. Gerakan
kemudian diakhiri dengan mencabut pedang dan meletakkannya diatas bahu sambil
memutarkannya kekiri dan kekanan. Gerakan pemujaan pedang ini diiringi dengan
alat music yaitu dua buah Gong atau Ketawa’ dan dua buah Gendang atau Entibung.
Mengenai pakaian yang digunakan oleh sianak laki- laki adalah pakaian adat
terdiri dari topi atau ikat kepala, baju maram, cawat sirat dan gelang giring. Setelah
semua rangkaian ritual pemujaan pedang ini selesai, keesokan harinya sianak
laki- laki ini harus segera berangkat, maka prosesi ritual harus diulang dari
awal.
Saat ini,
setelah kayao tidak lagi menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Dayak
Mualang, pemujaan pedang tetap dilestarikan yaitu dalam bentuk seni tari yang
dikenal dengan Tari Pedang. Gerakan dari awal hingga akhir tidak mengalami perubahan,
hanya yang membedakan tarian ini tidak diawali dengan upacara adat memanggil
roh- roh leluhur. Apabila ada yang melakukan tarian Pedang dimulai dengan
upacara adat, maka yang bersangkutan harus mengerjakan kayao. Jika tidak, roh-
roh leluhur yang dipanggil akan marah dan diyakini dapat menimbulkan
malapetaka. Yang disayangkan dalam tarian ini adalah yang menari kenapa bukan
anak muda, yang seharusnya meneruskan kebudayaan seni tari tersebut.
MUSIK SAPE’
Sape atau
dibaca sape’ atau yang biasa disebut dengan sampe atau dibaca sampe’ adalah
salah satu jenis alat music tradisional yang dimiliki oleh masyarakat asli
Dayak Pulau Kalimantan. Dayak Kayaan dan Kenyah yang sering disebut- sebut
sebagai kelompok masyarakat pemilik awal dari jenis alat music tradisional
sape’ ini. Kedua kelompok masyarakat ini, termasuk juga masyarakat punan,
secara linguistic merupakan bagian dari sub kelompok Masyarakat Dayak yang
lebih besar, yaitu masyarakat sub Kayaan.
Ada dua jenis
sape’ yang dikenal dimasyarakat, terutama masyarakat Dayak Kapuas Hulu, yaitu
Sape’ Kayaan dan Sape’ kenyah. Sape’ Kayaan umumnya memiliki ukuran bentuk yang
lebih pendek dibanding dengan jenis sape’ Kenyah. Selain lebih pendek, bentuk
badan sape’ Kayaan juga cenderung lebih lebar dibanding dengan dengan bentuk
badan sape’ Kenyah dengan penggunaan jumlah dan jenis tali senar yang juga
berbeda.
Jenis- jenis
tali dawai pada jaman dahulu sebelum mereka mengenal tali nilon, string atau
tali kawat rem motor, pada jenis sape’ Kanyaan misalnya mereka telah
menggunakan dan mengkreasikan serat nenas atau bahkan jenis rotan tertentu
untuk digunakan sebagai tali dawai pada alat music sape’. Pada jenis sape’
kayaan, jumlah tali dawai yang selama ini digunakan berjumlah dua senar.
Sementara pada jenis sape’ kenyah, jumlahnya bervariasi. Sape’ sebenarnya dapat
dimainkan sendiri, namun secara tradisi, alat music sape’ ini lebih banyak
dimainkan secara bersama- sama dengan jenis alat music tradisional lainnya
untuk mengiringi sebuah lagu dan tarian- tarian ritual. Apabila dimainkan
sendirian, konon suara dari dawai sape’ ini akan membuat jiwa seperti berada
diawang- awing ( alam ketinggian ). Bunyi setiap dentingnya yang tinggi seakan
dapat mewakili suasana alam ketinggian yang sunyi sepi. Sementara jika
dimainkan bersama- sama akan menambah unsure magisnya dari ritme setiap
langkah- langkah tarian ritual yang dilakukan.
Pertunjukan musik
sape’ pada malam itu penampilan yang pertama dimainkan oleh sekelompok ibu- ibu
suku dayak dan penampilan yang kedua dimainkan oleh :
1.
Hironimus
Uwang ( pemain dan pembuat sape’ ) di Desa Padua Mendalam.
2.
Gunung
( Tokoh tua, pemain dan pembuat sape’ ) di Desa Datah Dian, Pagung.
3.
Sageng,
Pemain sape’ di Desa Datah Dian, Pagung.
4.
Lucia
( Ketua Sanggar Kayan ) dari Putussibau
MAKNA DAN TRADISI TATTO
Bagi
masyarakat dayak, fungsi dan makna tatto secara tradisional secara umum adalah
sebagai fungsi religi dan tradisi. Pada masyarakat Iban, khususnya masyarakat
Iban Embaloh Hulu, istilah tatto ternyata lebih dikenal pada masyarakat Kayaan
dan Kenyah. Para pengukir atau penato atau para pembuat tattonya sendiri
kemudian juga dikenal sebagai pantang bukan penedak. Nama pantang ini erat
kaitannya dengan profesi, cara dan nama alat yang digunakan dalam mengukir atau
membuat tatto, yaitu sebuah kayu kecil sejenis pelaik yang pada bagian ujungnya
dibelah untuk menjepit beberapa jarum atau duri yang berasal dari pohon
tertentu dan berfungsi sebagai penusu kulit ari. Bahan pewarna alami yang
digunakan dalam proses pengukiran ini tentunya hanya satu jenis warna, yaitu
warna hitam yang diperoleh dari jelaga asap lampu pelita dengan bahan bakar
tanah atau bahan bakar kayu alam yang dikumpulkan dengan menggunakan media
jenis daun tertentu yang agak lebar.
Dalam
masyarakat Iban, makna tatto berhubungan dengan simbolisasi pengalaman
kemampuan seseorang dalam komunitasnya. Secara umum terdapat empat bentuk motif
dari tatto yang biasa digunakan oleh masyarakat Iban saat ini, yaitu : motif
bunga terung, motif buah andu, motif ketam dan motif kelingai.
KESIMPULAN
Kekayaan dan
keragaman seni budaya yang memiliki nilai, norma, dan fungsi, baik bagi
masyarakat pendukungnya maupun masyarakat secara umum perlu terus dilestarikan
agar tidak mengalami kepunahan, pendangkalan isi maupun pengakuan dari pihak-
pihak lain yang kurang bertanggung jawab. Maksud dan pelestarian seni budaya
adalah untuk membuat nilai- nilai budaya tersebut tetap hidup dan terpakai
dimasa kini dan yang akan datang.
No comments:
Post a Comment